PENDAHULUAN
Tengenan atau Tengenan Pegringsingan itulah nama sebuah desa Bali Aga (Bali Kuna) yang terletak di Kabupaten Karangasem. Desa ini berdiri ditengah-tengah perbukitan yang kokoh laksana benteng pelindung yang mengisolasi desa Tenganan. Desa tenganan inilah yang memiliki adat istiadat yang tiada duanya di Bali
Kabupaten kecil di penghujung Timur Pulau Bali ternyata kaya dengan kebudayaan. Selain terkenal dengan budaya megibungan yang merupakan cirri khas peninggalan budaya Raja Karangasem. Di Kabupaten ini kita juga menemukan desa tradisional yakni Tenganan Pagringsingan yang terkenal dengan budaya Mageret Pandan.
Kelian Desa Adat Tenganan Pageringsingan I Nengah Timur yang ditemui disela-sela kesibukannya mengatakan upacara ini sangat sacral bagi warga Tenganan Pageringsingan. Sebelum megeret pandan dimulai, pria asli Tenganan yang sudah Matruna Nyoman (naik dewasa) menarikan tari Makare-kare. Setelah itu barulah megeret pandan yang menggunakan pandan dan tameng dari anyaman Ata dimulai. ''Mageret Pandan ini merupakan tari yang sangat sacral. Bagi daerah di luar Tenganan mungkin ada tari Rejang, Baris dan tari sacral lainnya''tutur Timur. Lanjut Timur warganya yang Matruna Nyoman akan diasramakan setahun di suatu tempat yang disediakan desa. Selama berada di asrama warga yang naik dewasa ini dilarang tidur dirumahnya
MEGERET PANDAN
Upacara sacral Mageret Pandan menurut Timur akan dilakukan selama tiga hari. Perang pandan adalah tradisi warga Desa Tenganan dan selain memiliki nilai seni yang tinggi upacara yang rutin dilakukan setiap tahun berdasarkan penanggalan khusus ini juga memiliki makna yang berkaitan dengan Usaba Sambeh didesa tersebut. Selain itu, Mageret Pandan atau Perang Pandan juga menjadi sarana latihan ketangkasan seorang prajurit. ''Maklum ketika jaman Raja dahulu, Tenganan kan prajurit semua''ujarnya. Dikatakan, masyarakat Tenganan adalah penganut Agama Hindu namun cenderung menganut aliran Indra sebagai Dewa Perang. Yang terpenting dalam perang pandan tersebut tidak ada menang kalah. ''Kalau mereka sampai terluka akibat goresan pandan akan diobati dengan obat yang telah disediakan yang berasal dari Cuka, Kunir dan Isen ( Lengkuas )
Sementara itu pantauan yang dilakukan dilapangan nampak pemuda desa sibuk menyiapkan pandan maupun tameng yang akan digunakan dalam upacara tersebut. Perang pandan bukan hanya diikuti oleh pemuda yang kekar, tidak ketinggalan anak-anak dan orang tua juga ikut meramaikan upacara yang dilakukan tiap tahun ini. Dipihak lain, upacara sacral yang hanya terdapat di Desa Tenganan ini juga menjadi tontonan wisatawan domestic maupun Mancanegara. Mereka nampak dating jauh-jauh sebelum perang pandan dimulai. Ketika perang pandan dimulai, wisatawanb ini juga nampak ikut berdorong-dorongan agar bias menyaksikan lebiuh dekat perang pandan tersebut.Jingga
Tenganan Pagringsingan terkenal dengan budaya Mageret Pandan(perang pandan) , Tradisi memang sangat unik.Upacara sakral Mageret Pandan dilakukan selama tiga hari. Yakni dua hari lalu di lakukan di Bale Patemon (Balai Pertemuan) Selatan, di Bale Patemon Utara dan di Bale Patemon Tengah. Selain memiliki nilai seni yang tinggi upacara yang rutin dilakukan setiap tahun berdasarkan penanggalan khusus ini juga memiliki makna yang berkaitan dengan Usaba Sambeh didesa tersebut. Selain itu, Mageret Pandan atau Perang Pandan juga menjadi sarana latihan ketangkasan seorang prajurit.Menurut masyarakat Tenganan adalah penganut Agama Hindu namun cenderung menganut aliran Dewa Indra sebagai Dewa Perang. Yang terpenting dalam perang pandan tersebut tidak ada menang kalah. Kalau ada yang sampai terluka akibat goresan pandan akan diobati dengan obat yang telah disediakan yang berasal dari cuka kunir dan isen. Tak heran jika Perang pandan ini menjadi tontonan menarik bagi wisatawan lokal dan mancanegara. Kepercayaan warga Tenganan agak berbeda dengan warga Bali pada umumnya. Umat Hindu Bali pada umumnya menjadikan Tri Murti yaitu Brahma, Wisnu, dan Siwa sebagai dewa tertinggi. Namun bagi warga Tenganan Dewa Indra adalah dewa dari segala dewa. Dewa Indra adalah dewa perang. Menurut sejarahnya Tenganan adalah hadiah dari Dewa Indra pada wong peneges, leluhur desa Tenganan.
Karena memuja Dewa Indra sebagai dewa tertinggi, maka perang adalah sesuatu yang akrab bagi Tenganan. Bentuk desa ini dibuat seperti benteng. Struktur desa adalah jaga satru yang berarti waspada pada musuh. Hanya ada empat pintu utama (lawangan) untuk masuk desa ini sehingga memudahkan warga untuk tahu siapa saja yang datang. Lokasi desa yang dikelilingi bukit, menurut mantan Kepala Desa I Nyoman Sadra, adalah benteng itu sendiri.
Selain bentuk desa, ritual di desa ini pun akrab dengan simbol-simbol perang. "Bagi kami, perang adalah upacara untuk menghormati leluhur. Perang yang digelar di Tenganan antara lain adalah mesabatan biu atau perang pisang yang digelar untuk menunjukkan kedewasaan, perang pisang ini hanya diikuti oleh remaja. Ada pula perang lumpur yang tujuannya kurang lebih sama dengan perang pisang. Di antara perang-perang tersebut, perang pandan sudah kadung jadi yang paling terkenal. Semula perang ini dilakukan tertutup dalam artian hanya untuk warga Tenganan. Perang ini memang bagian dari upacara besar yang disebut Usaba Sambah. Ketika pariwisata mulai masuk desa ini pada 1930an perang pandan yang semula sakral pun jadi profane, orang luar tak hanya boleh menonton, mereka pun boleh ikut bertarung.
Selama perayaan perang pandan Tenganan pun mirip pasar malam. Di sekitar bale petemu, tempat perang digelar, banyak pedagang kaki lima. Penjual minuman, bakso, mainan, sampai bra pun berjejer di depan rumah warga. Pedagang musiman ini bersaing dengan warga setempat yang memang menjadikan rumahnya sebagai art shop untuk menjual aneka cindera mata khas Tenganan seperti kain tradisional gringsing, kalender, dan lukis telur. Di antara para pedagang itu, ada pula para penjudi tradisional seperti bola adil. Judi memang sesuatu yang jadi parasit dalam setiap upacara besar di Bali. Dia selalu mendompleng ritual di Bali, termasuk di perang pandan ini. Ironisnya, pemain judi ini justru sebagian besar anak-anak. Jadi sekalian main judi mereka juga menonton perang pandan. Tiap laki-laki di desa ini wajib ikut perang pandan ini. Sebelum perang pandan dimulai, ada ritual minum tuak dulu. Tuak di bambu itu dituangkan ke daun pisang yang berfungsi seperti gelas. Peserta perang saling menuangkan tuak itu ke daun pisang peserta lain. Semua lalu dikumpulkan pada satu orang yang kemudian membuang tuak itu ke samping panggung. Bau tuak tercium kuat siang itu.
Mangku Widia, pemimpin adat di Desa Tenganan, duduk di salah satu pojok panggung. Dia memberi aba-aba dengan suaranya. Dua pemuda bersiap-siap. Mereka berhadap-hadapan dengan seikat daun pandan di tangan kanan dan perisai terbuat dari anyaman daun ata di tangan kiri. Penengah, layaknya wasit, berdiri di antara dua pemuda ini. Setelah penengah mengangkat tangan tinggi-tinggi, dua pemuda itu saling menyerang. Mereka memukul punggung lawan dengan cara merangkulnya terlebih dulu. Mereka berpelukan. Saling memukul punggung lawan dengan daun pandan itu lalu menggeretnya. Karena itu ritual ini disebut pula megeret pandan. Peserta perang yang lain bersorak memberi semangat. Gamelan ditabuh dengan tempo cepat. Dua pemuda itu saling berangkulan dan memukul hingga jatuh. Penengah memisahkan keduanya dibantu pemedek yang lain
Bersyukurlah Manggis punya Tenganan. Di tanah ini aku selalu belajar tentang masa lalu. Keterpencilan bukan lalu membuat desa jadi mati dan asing tetapi tetap hidup dengan segudang aura magis yang terpancar dari perilaku adat menuntun warganya untuk selalu berada pada jalan yang benar. Meski sederhana namun tetap bersahaja Perang Pandan Selalu Berakhir dengan DamaiBALI AGE telah melekat di tubuh Tenganan. Awig-awig yang mengikat krama desa masih lugu memelihara warisan budaya yang memang patut untuk dijaga. Meskipun begitu ketatnya, demokrasi di sini tetap terjaga. Di sini laki-laki bukan berarti lebih tinggi dari perempuan. Tenganan selalu memperlakukan orang-orangnya untuk tetap mengingat betapa pentingnya persamaan hak jiwa kewajiban.
PENUTUP
Dari berbagai upacara keagamaan yang dilakukan di Tenganan, salah satu yang paling menarik adalah upacara Mekare kare atau Geret Pandan (perang pandan). Upacara yang dilangsungkan pada sasih kalima (bulan kelima pada kalender Bali) adalah bagian dari upcara "Sasih Sembah" yaitu upacara keagamaan terbesar di Desa Tenganan. Penduduk Tenganan telah diwarisi aturan tertulis atau awig-awig secara turun temurun dari moyang mereka. Aturan tersebut masih dijalankan sampai saat ini sehingga kelestariaannya tetap terjaga. Bangunan rumah penduduk dibuat hampir sama satu dengan yang lain, yaitu dibangun sejajar dari arah utara ke selatan. Begitu juga dengan ukuran masing-masing bangunan, sungguh tiada bedanya, karena sudah ada patokan khusus mengenai tata cara pembangunan di desa itu. Budaya gotong royong dan saling tolong menolong masih menjadi kebiasaan penduduk yang telah mendarah daging. Perang Pandan Selalu Berakhir dengan DamaiBALI AGE telah melekat di tubuh Tenganan. Awig-awig yang mengikat krama desa masih lugu memelihara warisan budaya yang memang patut untuk dijaga. Meskipun begitu ketatnya, demokrasi di sini tetap terjaga. Di sini laki-laki bukan berarti lebih tinggi dari perempuan. Tenganan selalu memperlakukan orang-orangnya untuk tetap mengingat betapa pentingnya persamaan hak jiwa kewajiban. Lihatlah rumah-rumah kuno itu selalu berjejer sama di atas jalan desa yang masih perawan. Orang-orang di sini begitu bijaksana menyikapi tanah warisan desa. Tanah bukan untuk dijual tapi untuk dijaga dan dihidupi.
MEGERET PANDAN DALAM TRADISI UMAT HINDU DI BALI
OLeh:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar